WARGANEGARA DAN
KEWARGANEGARAAN
Salah
satu persyaratan diterimanya status sebuah negara adalah adanya unsur
warganegara yang diatur menurut ketentuan hukum tertentu, sehingga warga negara
yang bersangkutan dapat dibedakan dari warga dari negara lain. Pengaturan
mengenai kewarganegaraan ini biasanya ditentukan berdasarkan salah satu dari
dua prinsip, yaitu prinsip ‘ius soli’ atau prinsip ‘ius sanguinis’.
Yang dimaksud dengan ‘ius soli’ adalah prinsip yang mendasarkan diri
pada pengertian hukum mengenai tanah kelahiran, sedangkan ‘ius sanguinis’
mendasarkan diri pada prinsip hubungan darah.
Berdasarkan prinsip ‘ius soli’, seseorang yang dilahirkan di dalam
wilayah hukum suatu negara, secara hukum dianggap memiliki status
kewarganegaraan dari negara tempat kelahirannya itu. Negara Amerika Serikat dan
kebanyakan negara di Eropah termasuk menganut prinsip kewarganegaraan
berdasarkan kelahiran ini, sehingga siapa saja yang dilahirkan di negara-negara
tersebut, secara otomatis diakui sebagai warga negara. Oleh karena itu, sering
terjadi warganegara Indonesia yang sedang bermukim di negara-negara di luar
negeri, misalnya karena sedang mengikuti pendidikan dan sebagainya, melahirkan
anak, maka status anaknya diakui oleh Pemerintah Amerika Serikat sebagai warga
negara Amerika Serikat. Padahal kedua orangtuanya berkewarganegaraan Indonesia.
Dalam zaman keterbukaan seperti sekarang ini, kita menyaksikan banyak
sekali penduduk suatu negara yang berpergian keluar negeri, baik karena
direncanakan dengan sengaja ataupun tidak, dapat saja melahirkan anak-anak di
luar negeri. Bahkan dapat pula terjadi, karena alasan pelayanan medis yang
lebih baik, orang sengaja melahirkan anak di rumah sakit di luar negeri yang
dapat lebih menjamin kesehatan dalam proses persalinan. Dalam hal, negara
tempat asal sesorang dengan negara tempat ia melahirkan atau dilahirkan
menganut sistem kewarganegaraan yang sama, tentu tidak akan menimbulkan
persoalan. Akan tetapi, apabila kedua negara yang bersangkutan memiliki sistem
yang berbeda, maka dapat terjadi keadaan yang menyebabkan seseorang menyandang
status dwi-kewarganegaraan (double citizenship) atau sebaliknya malah
menjadi tidak berkewarganegaraan sama sekali (stateless).
Berbeda dengan prinsip kelahiran itu, di beberapa negara, dianut prinsip ‘ius
sanguinis’ yang mendasarkan diri pada faktor pertalian seseorang dengan
status orangtua yang berhubungan darah dengannya. Apabila orangtuanya
berkewarganegaraan suatu negara, maka otomatis kewarganegaraan anak-anaknya
dianggap sama dengan kewarganegaraan orangtuanya itu. Akan tetapi, sekali lagi,
dalam dinamika pergaulan antar bangsa yang makin terbuka dewasa ini, kita tidak
dapat lagi membatasi pergaulan antar penduduk yang berbeda status
kewarganegaraannya. Sering terjadi perkawinan campuran yang melibatkan status
kewarganegaraan yang berbeda-beda antara pasangan suami dan isteri. Terlepas
dari perbedaan sistem kewarganegaraan yang dianut oleh masing-masing negara
asal pasangan suami-isteri itu, hubungan hukum antara suami-isteri yang
melangsungkan perkawinan campuran seperti itu selalu menimbulkan persoalan
berkenaan dengan status kewarganegaraan dari putera-puteri mereka.
Oleh karena itulah diadakan pengaturan bahwa status kewarganegaraan itu
ditentukan atas dasar kelahiran atau melalui proses naturalisasi atau
pewarganegaraan. Dengan cara pertama, status kewarganegaraan seseorang
ditentukan karena kelahirannya. Siapa saja yang lahir dalam wilayah hukum suatu
negara, terutama yang menganut prinsip ‘ius soli’ sebagaimana
dikemukakan di atas, maka yang bersangkutan secara langsung mendapatkan status
kewarganegaraan, kecuali apabila yang bersangkutan ternyata menolak atau
mengajukan permohonan sebaliknya. Cara kedua untuk memperoleh status
kewarganegaraan itu ditentukan melalui proses pewarganegaraan (naturalisasi).
Melalui proses pewarganegaraan itu, seseorang dapat mengajukan permohonan
kepada instansi yang berwenang, dan kemudian pejabat yang bersangkutan dapat
mengabulkan permohonan tersebut dan selanjutnya menetapkan status yang
bersangkutan menjadi warganegara yang sah.
Selain kedua cara tersebut, dalam berbagai literature mengenai
kewarganegaraan, juga dikenal adanya cara ketiga, yaitu melalui registrasi.
Cara ketiga ini dapat disebut tersendiri, karena dalam pengalaman seperti yang
terjadi di Perancis yang pernah menjadi bangsa penjajah di berbagai penjuru
dunia, banyak warganya yang bermukim di daerah-daerah koloni dan melahirkan
anak dengan status kewarganegaraan yang cukup ditentukan dengan cara registrasi
saja. Dari segi tempat kelahiran, anak-anak mereka itu jelas lahir di luar
wilayah hukum negara mereka secara resmi. Akan tetapi, karena Perancis,
misalnya, menganut prinsip ‘ius soli’, maka menurut ketentuan yang
normal, status kewarganegaraan anak-anak warga Perancis di daerah jajahan
ataupun daerah pendudukan tersebut tidak sepenuhnya dapat langsung begitu saja
diperlakukan sebagai warga negara Perancis. Akan tetapi, untuk menentukan
status kewarganegaraan mereka itu melalui proses naturalisasi atau
pewarganegaraan juga tidak dapat diterima. Karena itu, status kewarganegaraan mereka
ditentukan melalui proses registrasi biasa. Misalnya, keluarga Indonesia yang
berada di Amerika Serikat yang menganut prinsi ‘ius soli’, melahirkan
anak, maka menurut hukum Amerika Serikat anak tersebut memperoleh status
sebagai warga negara AS. Akan tetapi, jika orangtuanya menghendaki anaknya
tetap berkewarganegaraan Indonesia, maka prosesnya cukup melalui registrasi
saja.
Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa proses kewarganegaraan itu dapat
diperoleh melalui tiga cara, yaitu: (i) kewarganegaraan karena kelahiran atau ‘citizenship
by birth’, (ii) kewarganegaraan melalui pewarganegaraan atau ‘citizenship
by naturalization’, dan (iii) kewarganegaraan melalui registrasi biasa atau
‘citizenship by registration’. Ketiga cara ini seyogyanya dapat sama-sama
dipertimbangkan dalam rangka pengaturan mengenai kewarganegaraan ini dalam
sistem hukum Indonesia, sehingga kita tidak membatasi pengertian mengenai cara
memperoleh status kewarganegaraan itu hanya dengan cara pertama dan kedua saja
sebagaimana lazim dipahami selama ini.
Kasus-kasus kewarganegaraan di Indonesia juga banyak yang tidak
sepenuhnya dapat diselesaikan melalui cara pertama dan kedua saja. Sebagai
contoh, banyak warganegara Indonesia yang karena sesuatu, bermukim di Belanda,
di Republik Rakyat Cina, ataupun di Australia dan negara-negara lainnya dalam
waktu yang lama sampai melahirkan keturunan, tetapi tetap mempertahankan status
kewarganegaraan Republik Indonesia. Keturunan mereka ini dapat memperoleh
status kewarganegaraan Indonesia dengan cara registrasi biasa yang prosesnya
tentu jauh lebih sederhana daripada proses naturalisasi. Dapat pula terjadi,
apabila yang bersangkutan, karena sesuatu sebab, kehilangan kewarganegaraan
Indonesia, baik karena kelalaian ataupun sebab-sebab lain, lalu kemudian
berkeinginan untuk kembali mendapatkan kewarganegaraan Indonesia, maka
prosesnya seyogyanya tidak disamakan dengan seorang warganegara asing yang
ingin memperoleh status kewarganegaraan Indonesia.
Lagi pula sebab-sebab hilangnya status kewarganegaraan itu bisa saja
terjadi karena kelalaian, karena alasan politik, karena alasan teknis yang
tidak prinsipil, ataupun karena alasan bahwa yang bersangkutan memang secara
sadar ingin melepaskan status kewarganegaraannya sebagai warganegara Indonesia.
Sebab atau alasan hilangnya kewarganegaraan itu hendaknya dijadikan
pertimbangan yang penting, apabila yang bersangkutan ingin kembali mendapatkan
status kewarganegaraan Indonesia. Proses yang harus dilakukan untuk
masing-masing alasan tersebut sudah semestinya berbeda-beda satu sama lain.
Yang pokok adalah bahwa setiap orang haruslah terjamin haknya untuk mendapatkan
status kewarganegaraan, sehingga terhindar dari kemungkinan menjadi ‘stateless’
atau tidak berkewarganegaraan. Tetapi pada saat yang bersamaan, setiap negara
tidak boleh membiarkan seseorang memilki dua status kewarganegaraan sekaligus.
Itulah sebabnya diperlukan perjanjian kewarganegaraan antara negara-negara
modern untuk menghindari status dwi-kewarganegaraan tersebut. Oleh karena itu,
di samping pengaturan kewarganegaraan berdasarkan kelahiran dan melalui proses
pewarganegaraan (naturalisasi) tersebut, juga diperlukan mekanisme lain
yang lebih sederhana, yaitu melalui registrasi biasa.
Di samping itu, dalam proses perjanjian antar negara, perlu diharmonisasikan
adanya prinsip-prinsip yang secara diametral bertentangan, yaitu prinsip ‘ius
soli’ dan prinsip ‘ius sanguinis’ sebagaimana diuraikan di atas.
Kita memang tidak dapat memaksakan pemberlakuan satu prinsip kepada suatu
negara yang menganut prinsip yang berbeda. Akan tetapi, terdapat kecenderungan
internasional untuk mengatur agar terjadi harmonisasi dalam pengaturan
perbedaan itu, sehingga di satu pihak dapat dihindari terjadinya
dwi-kewarganegaraan, tetapi di pihak lain tidak akan ada orang yang berstatus ‘stateless’
tanpa kehendak sadarnya sendiri. Karena itu, sebagai jalan tengah terhadap
kemungkinan perbedaan tersebut, banyak negara yang berusaha menerapkan sistem
campuran dengan tetap berpatokan utama pada prinsip dasar yang dianut dalam sistem
hukum masing-masing.
Indonesia sebagai negara yang pada dasarnya menganut prinsip ‘ius
sanguinis’, mengatur kemungkinan warganya untuk mendapatkan status
kewarganegaraan melalui prinsip kelahiran. Sebagai contoh banyak warga
keturunan Cina yang masih berkewarganegaraan Cina ataupun yang memiliki
dwi-kewarganegaraan antara Indonesia dan Cina, tetapi bermukim di Indonesia dan
memiliki keturunan di Indonesia. Terhadap anak-anak mereka ini sepanjang yang
bersangkutan tidak berusaha untuk mendapatkan status kewarganegaraan dari
negara asal orangtuanya, dapat saja diterima sebagai warganegara Indonesia
karena kelahiran. Kalaupun hal ini dianggap tidak sesuai dengan prinsip dasar
yang dianut, sekurang-kurangnya terhadap mereka itu dapat dikenakan ketentuan mengenai
kewarganegaraan melalui proses registrasi biasa, bukan melalui proses
naturalisasi yang mempersamakan kedudukan mereka sebagai orang asing sama
sekali.
SUPREMASI
HUKUM DI INDONESIA
Hukum di
Indonesia
merupakan campuran dari sistem hukum hukum Eropa, hukum Agama dan hukum Adat.
Sebagian besar sistem yang dianut, baik perdata maupun pidana, berbasis pada hukum Eropa kontinental, khususnya
dari Belanda karena aspek sejarah masa lalu Indonesia yang merupakan wilayah
jajahan dengan sebutan Hindia Belanda (Nederlandsch-Indie). Hukum Agama, karena sebagian besar
masyarakat Indonesia menganut Islam, maka dominasi hukum atau Syari'at Islam
lebih banyak terutama di bidang perkawinan, kekeluargaan dan warisan. Selain
itu, di Indonesia juga berlaku sistem hukum
Adat yang diserap dalam perundang-undangan atau yurisprudensi, yang
merupakan penerusan dari aturan-aturan setempat dari masyarakat dan
budaya-budaya yang ada di wilayah Nusantara.
Warga negara dan supremasi
hokum Pasal 26 UUD 1945.
Negara yang
berdasar atas hukum mengandung
1.Adanya
kekuasaan peradilan yang bebas dari campur tangan
kekuasaan pemerintah dan kekuasaan lain dan tidak memihak
2. Adanya pembagian kekuasaan dalam negara, dalam arti tidak
adanya badan yang mempunyai kekuasaan mutlak
(absolutisme)
3.Adanya persamaan kedudukan dalam hukum daripara warga
negara
4. Bahwa hukum merupakan aturan tingkah laku yang harus dipatuhi oleh setiap orang, tanpa kecuali
kekuasaan pemerintah dan kekuasaan lain dan tidak memihak
2. Adanya pembagian kekuasaan dalam negara, dalam arti tidak
adanya badan yang mempunyai kekuasaan mutlak
(absolutisme)
3.Adanya persamaan kedudukan dalam hukum daripara warga
negara
4. Bahwa hukum merupakan aturan tingkah laku yang harus dipatuhi oleh setiap orang, tanpa kecuali
tonomi daerah
adalah kewenangan daerah untuk mengatur dan mengurus kepentinOgan masyarakat
setempat menurut prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi masyarakat dalam ikatan
negara kesatuan RI.
Rasional
pelaksanaan otonomi daerah :
1. Otonomi
daerah akan memperkokoh persatuan dan kesatuan bangsa.
2. Otonomi
daerah menjamin pembangunan berdasarkan potensi aspirasi masyarakat daerah.
3. Otonomi
daerah menjamin sitem pemerintah menjadi adil propesional rasional, transparan
dan bertanggung jawab.
4. Otonomi
daerah menjamin supaya lkepastian kewenangan antara pemerintah pusat, pemerintah
propensi dan pemerintah kabupaten.
5. Otonomi
daeerah adanya ketegasan sistem alokasi, penyelenggaraan bertanggungjawaban
keuangan daerah.
Hukum adalah seperangkat norma
tentang apa yang benar dan apa yang salah, yang dibuat atau diakui
eksistensinya oleh pemerintah,yang dituangkan baik sebagai aturan tertulis
ataupun yang tidak tertulis, yang mengikat dan sesuai dengan kebutuhan
masyarakatnya secara keseluruhan, dan dengan ancaman sanksi bagi pelanggar
aturan itu.
Subyek hukum adalah segala sesuatu yang
dapat menjadi pendukung hak dan kewajiban, subyek hukum adalah :semua manusia
dan badan hokum.
Obyek Hukum adalah segala sesuatu yang bermanfaat bagi subyek hukum serta dapat
menjadi obyek dalam suatu hubungan hukum. Obyek hukum juga disebut “benda” yaitu
segala barang dan hak yang dapat dimiliki subyek hokum.
Negara berdasar
hukum :
1.Adanya
kekuasaan peradilan yg bebas dari campur tangan kekuasaan pemerintah
dan kekuasaan
lain dan tidak memihak.
2. Adanya
pembagian kekuasaan dalam negara, dalam arti tidak adanya badan yang mempunyai
kekuasaan mutla(absolutisme)
3. Adanya
persamaan kedudukan dalam hukum dari para warga negara.
Bahwa hukum
merupakan aturan tingkah laku yang harus dipatuhi oleh setiap orang, tanpa
kecuali.
•
Pasal 26 UUD 45
•
1.Yang menjadi warga negara ialah orang-orang bangs Indonesia asli dan
orang –orang bangsa lain yang dishkan dengan undang –undang.
•
2. Syarat-syarat yang mengenai kewarganegaraan ditetapkan dengan
undang-undang
PEMBARUAN
UNDANG-UNDANG KEWARGANEGARAAN
Dalam rangka pembaruan Undang-Undang Kewarganegaraan,
berbagai ketentuan yang bersifat diskriminatif sudah selayaknya disempurnakan.
Warga keturunan yang lahir dan dibesarkan di Indonesia sudah tidak selayaknya
lagi diperlakukan sebagai orang asing. Dalam kaitan ini, kita tidak perlu lagi
menggunakan istilah penduduk asli ataupun bangsa Indonesia asli seperti yang
masih tercantum dalam penjelasan UUD 1945 tentang kewarganegaraan. Dalam hukum
Indonesia di masa datang, termasuk dalam rangka amandemen UUD 1945 dan
pembaruan UU tentang Kewarganegaraan, atribut keaslian itu, kalaupun masih akan
dipergunakan, cukup dikaitkan dengan kewarganegaraan, sehingga kita dapat
membedakan antara warganegara asli dalam arti sebagai orang yang dilahirkan
sebagai warganegara (natural born citizen), dan orang yang dilahirkan
bukan sebagai warganegara Indonesia.
Orang yang dilahirkan dalam status sebagai warganegara
Republik Indonesia itu di kemudian hari dapat saja berpindah menjadi
warganegara asing. Tetapi, jika yang bersangkutan tetap sebagai warganegara
Indonesia, maka yang bersangkutan dapat disebut sebagai ‘Warga Negara Asli’.
Sebaliknya, orang yang dilahirkan sebagai warganegara asing juga dapat berubah
di kemudian hari menjadi warganegara Indonesia, tetapi yang kedua ini tidak
dapat disebut sebagai ‘Warga Negara Asli’. Dengan sendirinya, apabila
hal ini dikaitkan dengan ketentuan Pasal 6 ayat (1) tentang calon Presiden yang
disyaratkan orang Indonesia asli haruslah dipahami dalam konteks pengertian ‘Warga
Negara Indonesia’ asli tersebut, sehingga elemen diskriminatif dalam hukum
dasar itu dapat hilang dengan sendirinya. Artinya, orang yang pernah menyandang
status sebagai warganegara asing sudah sepantasnya dianggap tidak memenuhi
syarat untuk dicalonkan sebagai Presiden dan Wakil Presiden Republik Indonesia.
Dengan demikian, dalam rangka amandemen UUD 1945 dan
pembaruan UU tentang Kewarganegaraan konsep hukum mengenai kewarganegaraan asli
dan konsep tentang tata cara memperoleh status kewarganegaraan yang meliputi
juga mekanisme registrasi seperti tersebut di atas, dapat dijadikan bahan
pertimbangan yang pokok. Dengan begitu asumsi-asumsi dasar yang bersifat
diskriminatif berdasarkan rasa dan etnisitas sama sekali dihilangkan dalam
penyusunan rumusan hukum di masa-masa yang akan datang sesuai dengan semangat
untuk memajukan hak asasi manusia di era reformasi dewasa ini.
A review of the new "Vegas Casino" and why it was the
BalasHapusThe casino, however, offers a range of slot 의왕 출장샵 machines 경주 출장마사지 that give 김포 출장샵 players a chance to 창원 출장샵 In most cases, the 구리 출장안마 slot machines have a large number of rows