BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar belakang
SEJARAH FILSAFAT ZAMAN MODERN
adalah Para filsuf zaman modern menegaskan bahwa pengetahuan tidak berasal dari
kitab suci atau ajaran agama, tidak juga dari para penguasa, tetapi dari diri
manusia sendiri. Namun tentang aspek mana yang berperan ada beda pendapat.
Aliran rasionalisme beranggapan bahwa sumber pengetahuan adalah rasio:
kebenaran pasti berasal dari rasio (akal). Aliran empirisme, sebaliknya,
meyakini pengalamanlah sumber pengetahuan itu, baik yang batin, maupun yang
inderawi. Lalu muncul aliran kritisisme, yang mencoba memadukan kedua pendapat
berbeda.
B. Rumusan masalah
1.Menceritakan
proses dan model para filsafat zaman modern
2.Secara
umum filsafat berarti upaya manusia untuk memahami
segala sesuatu secara sistematis, radikal,
dan kritis. Berarti filsafat merupakan
sebuah proses bukan sebuah produk. Maka proses yang dilakukan adalah berpikir
kritis yaitu usaha secara aktif, sistematis, dan
mengikuti pronsip-prinsip logika untuk mengerti dan mengevaluasi suatu
informasi dengan tujuan menentukan apakah informasi itu diterima atau
ditolak.
Dengan demikian filsafat akan terus berubah hingga satu titik
tertentu (Takwin, 2001).
C. Tujuan dan kegunaan
1.Untuk
mengetahui pengertian dari filsafat modern dalam ilmu keperawatan.
2.Untuk mengetahui model dan model para
filsafat zaman modern. Secara umum filsafat berarti upaya manusia untuk memahami segala sesuatu secara sistematis, radikal,
dan kritis
1
BAB II
PEMBAHASAN
A.
PENGERTIAN
Filsafat zaman modern adalah pengetahuan
tidak berasal dari kitab suci atau ajaran agama,
Tidak juga dari para penguasa tetapi
dari diri manusia sendiri. Aliran rasionalisme beranggapan Bahwa sumber pengetahuan adalah rasio. Aliran
emperisme, sebaliknya meyakini pengalaman Sumber pengetahuan itu,baik yang batin maupun inderawi.
Aliran rasionalisme di pelopori oleh rene
Descartes(1596-1650M). Dalam Discoerse De la
methode tahun 1637 ia menegaskan perlunya pada metode jitu sebagai dasar kokoh
Bagi semua pengetahuan,yaitu dengan
menyaksikan segalanya, secara metodis. namun Tetapi dalam kesangsian yang
metoddis ini ternyata hanya satu hal yang tidak dapat Diragukan,yaitu
‘Saya ragu-ragu’. Ini bukan hayalan,tetapi kenyataan, bahwa ‘Aku ragu-ragu’.
Jika aku menyaksikan sesuatu,aku
menyadari bahwa, aku menyaksikan adanya. Discartes menerima 3 realitas atau substansi bawaan yang sudah ada sejak
kita lahir
Yaitu: *Realitas pikiran (res cogitan)
*Realitas perluasan (res extensa extention)
*Tuhan
Sebagai wujud yang seluruhnya sempurna,
penyebab sempurna dari kedua realitas itu.
Pikiran sesungguhnya adalah kesadaran,
materi adalah keluasan.
Para filsuf zaman modern menegaskan
bahwa pengetahuan tidak berasal dari kitab suci atau ajaran agama, tidak juga
dari para penguasa, tetapi dari diri manusia sendiri. Namun tentang aspek mana
yang berperan ada beda pendapat. Aliran rasionalisme beranggapan bahwa sumber
pengetahuan adalah rasio: kebenaran pasti berasal dari rasio (akal). Aliran
empirisme, sebaliknya, meyakini pengalamanlah sumber pengetahuan itu, baik yang
batin, maupun yang inderawi. Lalu muncul aliran kritisisme, yang mencoba
memadukan kedua pendapat berbeda itu.
B.Aliran
Rasionalisme
Aliran rasionalisme dipelopori oleh Rene
Descartes (1596-1650 M). Dalam buku Discourse de la Methode tahun 1637 ia
menegaskan perlunya ada metode yang jitu sebagai dasar kokoh bagi semua
pengetahuan, yaitu dengan menyangsikan segalanya, secara metodis. Kalau suatu
kebenaran tahan terhadap ujian kesangsian yang radikal ini, maka kebenaran itu
100% pasti dan menjadi landasan bagi seluruh pengetahuan.
2
Tetapi dalam rangka kesangsian yang metodis ini ternyata hanya ada satu hal yang tidak dapat diragukan, yaitu "saya ragu-ragu". Ini bukan khayalan, tetapi kenyataan, bahwa "aku ragu-ragu". Jika aku menyangsikan sesuatu, aku menyadari bahwa aku menyangsikan adanya. Dengan lain kata kesangsian itu langsung menyatakan adanya aku. Itulah "cogito ergo sum", aku berpikir (= menyadari) maka aku ada. Itulah kebenaran yang tidak dapat disangkal lagi. -- Mengapa kebenaran itu pasti? Sebab aku mengerti itu dengan "jelas, dan terpilah-pilah" -- "clearly and distinctly", "clara et distincta". Artinya, yang jelas dan terpilah-pilah itulah yang harus diterima sebagai benar. Dan itu menjadi norma Descartes dalam menentukan kebenaran.
Descartes menerima 3 realitas atau substansi bawaan, yang sudah ada sejak kita lahir, yaitu (1) realitas pikiran (res cogitan), (2) realitas perluasan (res extensa, "extention") atau materi, dan (3) Tuhan (sebagai Wujud yang seluruhnya sempurna, penyebab sempurna dari kedua realitas itu). Pikiran sesungguhnya adalah kesadaran, tidak mengambil ruang dan tak dapat dibagi-bagi menjadi bagian yang lebih kecil. Materi adalah keluasan, mengambil tempat dan dapat dibagi-bagi, dan tak memiliki kesadaran. Kedua substansi berasal dari Tuhan, sebab hanya Tuhan sajalah yang ada tanpa tergantung pada apapun juga. Descartes adalah seorang dualis, menerapkan pembagian tegas antara realitas pikiran dan realitas yang meluas. Manusia memiliki keduanya, sedang binatang hanya memiliki realitas keluasan: manusia memiliki badan sebagaimana binatang, dan memiliki pikiran sebagaimana malaikat. Binatang adalah mesin otomat, bekerja mekanistik, sedang manusia adalah mesin otomat yang sempurna, karena dari pikirannya ia memiliki kecerdasan. (Mesin otomat jaman sekarang adalah komputer yang tampak seperti memiliki kecerdasan buatan).
Descartes adalah pelopor kaum rasionalis,
yaitu mereka yang percaya bahwa dasar semua pengetahuan ada dalam pikiran.
C.Aliran Empirisme
Aliran empririsme nyata dalam
pemikiran David Hume (1711-1776), yang memilih pengalaman sebagai sumber utama
pengetahuan. Pengalaman itu dapat yang bersifat lahirilah (yang menyangkut
dunia), maupun yang batiniah (yang menyangkut pribadi manusia). Oleh karena itu
pengenalan inderawi merupakan bentuk pengenalan yang paling jelas dan sempurna.
Dua hal dicermati oleh Hume, yaitu substansi dan kausalitas. Hume tidak menerima substansi, sebab yang dialami hanya kesan-kesan saja tentang beberapa ciri yang selalu ada bersama-sama. Dari kesan muncul gagasan. Kesan adalah hasil penginderaan langsung, sedang gagasan adalah ingatan akan kesan-kesan seperti itu. Misal kualami kesan: putih, licin, ringan, tipis. Atas dasar pengalaman itu tidak dapat disimpulkan, bahwa ada substansi tetap yang misalnya disebut kertas, yang memiliki ciri-ciri tadi. Bahwa di dunia ada realitas kertas, diterima oleh Hume. Namun dari kesan itu mengapa muncul gagasan kertas, dan bukan yang lainnya? Bagi Hume, "aku" tidak lain hanyalah "a bundle or collection of perceptions (= kesadaran tertentu)".
3
Kausalitas. Jika gejala tertentu
diikuti oleh gejala lainnya, misal batu yang disinari matahari menjadi panas,
kesimpulan itu tidak berdasarkan pengalaman. Pengalaman hanya memberi kita
urutan gejala, tetapi tidak memperlihatkan kepada kita urutan sebab-akibat.
Yang disebut kepastian hanya mengungkapkan harapan kita saja dan tidak boleh
dimengerti lebih dari "probable" (berpeluang). Maka Hume menolak
kausalitas, sebab harapan bahwa sesuatu mengikuti yang lain tidak melekat pada
hal-hal itu sendiri, namun hanya dalam gagasan kita. Hukum alam adalah hukum
alam. Jika kita bicara tentang "hukum alam" atau
"sebab-akibat", sebenarnya kita membicarakan apa yang kita harapkan,
yang merupakan gagasan kita saja, yang lebih didikte oleh kebiasaan atau perasaan
kita saja.
Hume merupakan pelopor para empirisis, yang percaya bahwa seluruh pengetahuan tentang dunia berasal dari indera. Menurut Hume ada batasan-batasan yang tegas tentang bagaimana kesimpulan dapat diambil melalui persepsi indera kita.
Dengan kritisisme Imanuel Kant (1724-1804) mencoba mengembangkan suatu sintesis atas dua pendekatan yang bertentangan ini. Kant berpendapat bahwa masing-masing pendekatan benar separuh, dan salah separuh. Benarlah bahwa pengetahuan kita tentang dunia berasal dari indera kita, namun dalam akal kita ada faktor-faktor yang menentukan bagaimana kita memandang dunia sekitar kita. Ada kondisi-kondisi tertentu dalam manusia yang ikut menentukan konsepsi manusia tentang dunia. Kant setuju dengan Hume bahwa kita tidak mengetahui secara pasti seperti apa dunia "itu sendiri" ("das Ding an sich"), namun hanya dunia itu seperti tampak "bagiku", atau "bagi semua orang". Namun, menurut Kant, ada dua unsur yang memberi sumbangan kepada pengetahuan manusia tentang dunia. Yang pertama adalah kondisi-kondisi lahirilah ruang dan waktu yang tidak dapat kita ketahui sebelum kita menangkapnya dengan indera kita. Ruang dan waktu adalah cara pandang dan bukan atribut dari dunia fisik. Itu materi pengetahuan. Yang kedua adalah kondisi-kondisi batiniah dalam manusia mengenai proses-proses yang tunduk kepada hukum kausalitas yang tak terpatahkan. Ini bentuk pengetahuan.
Demikian Kant membuat kritik atas
seluruh pemikiran filsafat, membuat suatu sintesis, dan meletakkan dasar bagi
aneka aliran filsafat masa kini.
Catatan. Filsafat zaman modern berfokus
pada manusia, bukan kosmos (seperti pada zaman kuno), atau Tuhan (pada abad
pertengahan). Dalam zaman modern ada periode yang disebut Renaissance
("kelahiran kembali"). Kebudayaan klasik warisan Yunani-Romawi
dicermati dan dihidupkan kembali; seni dan filsafat mencari inspirasi dari
sana. Filsuf penting adalah N Macchiavelli (1469-1527), Thoman Hobbes
(1588-1679), Thomas More (1478-1535) dan Francis Bacon (1561-1626).
Periode kedua adalah zaman Barok,
yang menekankan akal budi. Sistem filsafatnya juga menggunakan menggunakan
matematika. Para filsuf periode ini adalah Rene Descrates, Barukh de Spinoza
(1632-1677) dan Gottfried Wilhelm Leibniz (1646-1710). Periode ketiga ditandai
dengan fajar budi ("enlightenment" atau "Aufklarung"). Para
filsuf katagori ini adalah John Locke (1632-1704), G Berkeley (1684-1753),
David Hume (1711-1776). Dalam katagori ini juga dimasukkan Jean-Jacques
Rousseau (1712-1778) dan Immanuel Kant.
4
D. Penjelasan Filsafat
Masa kini (1800-sekarang).
Filsafat masa kini merupakan aneka
bentuk reaksi langsung atau taklangsung atas pemikiran Georg Wilhelm Friedrich
Hegel (1770-1831). Hegel ingin menerangkan alam semesta dan gerak-geriknya
berdasarkan suatu prinsip. Menurut Hegel semua yang ada dan semua kejadian
merupakan pelaksanaan-yang-sedang-berjalan dari Yang Mutlak dan bersifat
rohani. Namun celakanya, Yang Mutlak itu tidak mutlak jika masih harus
dilaksanakan, sebab jika betul-betul mutlak, tentunya maha sempurna, dan jika
maha sempurna tidak menjadi. Oleh sebab itu pemikiran Hegel langsung ditentang
oleh aliran pemikiran materialisme yang mengajarkan bahwa yang sedang-menjadi
itu, yang sering sedang-menjadi-lebih-sempurna bukanlah ide ("Yang
Mutlak"), namun adalah materi belaka. Maksudnya, yang sesungguhnya ada
adalah materi (alam benda); materi adalah titik pangkal segala sesuatu dan
segala sesuatu yang mengatasi alam benda harus dikesampingkan. Maka seluruh
realitas hanya dapat dibuat jelas dalam alur pemikiran ini. Itulah faham yang
dicetuskan oleh Ludwig Andreas Feuerbach (1804-1872). Sayangnya, materi itu
sendiri tidak bisa menjadi mutlak, karena pastilah ada yang-ada-di-luar-materi
yang "mengendalikan" proses dalam materi itu untuk materi bisa
menjadi-lebih-sempurna-dari-sebelumnya.
Kesalahan Hegel adalah tidak
menerima bahwa Yang Mutlak itu berdiri sendiri dan ada-diatas-segalanya, dalam
arti tidak dalam satu realitas dengan segala yang sedang-menjadi tersebut.
Dengan mengatakan Yang Mutak itu menjadi, Hegel pada dasarnya meniadakan
kemutlakan. Dalam cara sama, dengan mengatakan bahwa yang mutlak itu materi,
maka materialisme pun jatuh dalam kubangan yang sama. Dari sini dapat difahami
munculnya sejumlah aliran-aliran penting dewasa ini:
Positivisme menyatakan bahwa
pemikiran tiap manusia, tiap ilmu dan suku bangsa melalui 3 tahap, yaitu
teologis, metafisis dan positif ilmiah. Manusia muda atau suku-suku primitif
pada tahap teologis" dibutuhkan figur dewa-dewa untuk
"menerangkan" kenyataan. Meningkat remaja dan mulai dewasa dipakai
prinsip-prinsip abstrak dan metafisis. Pada tahap dewasa dan matang digunakan
metode-metode positif dan ilmiah. Aliran positivisme dianut oleh August Comte
(1798-1857), John Stuart Mill (1806-1873) dan H Spencer (1820-1903), dan
dikembangkan menjadi neo-positivisme oleh kelompok filsuf lingkaran Wina.
Marxisme (diberi nama mengikuti tokoh utama
Karl Marx, 1818-1883) mengajarkan bahwa kenyataan hanya terdiri atas materi
belaka, yang berkembang dalam proses dialektis (dalam ritme
tesis-antitesis-sintesis). Marx adalah pengikut setia Feuerbach (sekurangnya
pada tahap awal). Feuerbach berpendapat Tuhan hanyalah proyeksi mausia tentang
dirinya sendiri dan agama hanyalah sarana manusia memproyeksikan cita-cita
(belum terwujud!) manusia tentang dirinya sendiri. Menurut Feuerbach, yang ada
bukan Tuhan yang mahaadil, namun yang ada hanyalah manusia yang ingin menjadi
adil. Dari sini dapat difahami mengapa Marx berkata, bahwa "agama adalah
candu bagi rakyat", karena agama hanya membawa manusia masuk dalam
"surga fantasi", suatu pelarian dari kenyataan hidup yang umumnya
pahit. Selanjutnya Marx menegaskan bahwa filsafat hanya memberi interpretasi
atas perkembangan masyarakat dan sejarah. Yang justru dibutuhkan adalah aksi
untuk mengarahkan perubahan dan untuk itu harus dikembangkan hukum-hukum
obyektif mengenai perkembangan masyarakat.
[Catatan. Soekarno mengklim telah
mencetuskan marhaenisme sebagai marxisme diterapkan dalam situasi dan kondisi
Indonesia. Kualifikasi "penerapan dalam situasi dan kondisi
Indonesia" (apapun itu) pastilah tidak membuat faham marhaenisme sebagai
suatu
5
aliran
filsafat dan pastilah tidak harus sama dengan faham marxisme sebagai diterapkan
di dalam lingkungan masyarakat lain.]
Ditangan Friedrich Engels
(1820-1895), dan lebih-lebih oleh Lenin, Stalin dan Mao Tse Tung, aliran
filsafat Marxisme ini menjadi gerakan komunisme, yaitu suatu ideologi politik
praktis Partai Komunis di negara mana saja untuk merubah dunia. Sangat nyata
bahwa dimana saja Partai Komunis itu menjalankan praktek-praktek yang nyatanya
mengingkari hak-hak azasi manusia, dan karena itu tidak berperikemanusiaan (dan
tak ber keTuhanan pula!).
Eksistensialime merupakan himpunan
aneka pemikiran yang memiliki inti sama, yaitu keyakinan, bahwa filsafat harus
berpangkal pada adanya (eksistensi) manusia konkrit, dan bukan pada hakekat
(esensi) manusia-pada-umumnya. Manusia-pada-umumnya tidak ada, yang ada hanya
manusia ini, manusia itu. Esensi manusia ditentukan oleh eksistensinya. Tokoh
aliran ini J P Sartre (1905-1980), Kierkegaard (1813-1855), Friederich Nietzche
(1844-1900), Karl Jaspers (1883-1969), Martin Heidegger (1889-1976), Gabriel
Marcel (1889-1973).
Fenomenologi merupakan aliran (tokoh
penting: Edmund Husserl, 1859-1938) yang ingin mendekati realitas tidak melalui
argumen-argumen, konsep-konsep, atau teori umum. "Zuruck zu den sachen
selbst" -- kembali kepada benda-benda itu sendiri, merupakan inti dari
pendekatan yang dipakai untuk mendeskripsikan realitas menurut apa adanya.
Setiap obyek memiliki hakekat, dan hakekat itu berbicara kepada kita jika kita
membuka diri kepada gejala-gejala yang kita terima. Kalau kita "mengambil
jarak" dari obyek itu, melepaskan obyek itu dari pengaruh
pandangan-pandangan lain, dan gejala-gejala itu kita cermati, maka obyek itu
"berbicara" sendiri mengenai hakekatnya, dan kita memahaminya berkat
intuisi dalam diri kita.
Fenomenologi banyak diterapkan dalam
epistemologi, psikologi, antropologi, dan studi-studi keagamaan (misalnya
kajian atas kitab suci).
Pragmatisme tidak menanyakan
"apakah itu?", melainkan "apakah gunanya itu?" atau
"untuk apakah itu?". Yang dipersoalkan bukan "benar atau
salah", karena ide menjadi benar oleh tindakan tertentu. Tokoh aliran ini:
John Dewey (1859-1914).
Neo-kantisme dan neo-thomisme
merupakan aliran-aliran yang merupakan kelahiran kembali dari aliran yang lama,
oleh dialog dengan aliran lain.
Disamping itu masih ada aliran
filsafat analitik yang menyibukkan diri dengan analisis bahasa dan analisis
atas konsep-konsep. Dalam berfilsafat, jangan katakan jika hal itu tidak dapat
dikatakan. "Batas-batas bahasaku adalah batas-batas duniaku".
Soal-soal falsafi seyogyanya dipecahkan melalui analisis atas bahasa, untuk
mendapatkan atau tidak mendapatkan makna dibalik bahasa yang digunakan. Hanya
dalam ilmu pengetahuan alam pernyataan memiliki makna, karena pernyataan itu
bersifat faktual. Tokoh pencetus: Ludwig Wittgenstein (1889-1952).
Akhirnya sejak 1960 berkembang
strukturalisme yang menyelidiki pola-pola dasar yang tetap yang terdapat dalam
bahasa-bahasa, agama-agama, sistem-sistem dan karya-karya kesusasteraan.
6
BAB III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Dengan mempelajari proses dan model
para filsafat zaman modern
sebagaimana disampaikan dimuka maka dapat disimpulkan bahwa kita harus memahami
apa yang telah terjadi dari penjelasan-penjelasan filsafat zaman modern menurut
beberapa aliran-aliran.
Para filsuf zaman modern mennegaskan bahwa pngetahuan tdak
berasal dari kitab suci atau ajaran agama,tidak juga dari para penguasa,tetapi
dari diri manusia sendiri namun aliran rasionallisme beranggapan bahwa sumber
pengetahuan adalah rasio kbenaran dari rasio (akal).
B. Saran
Kami sebagai penulis makalah ini menyatakan siapapun yang membaca makalah
ini dapat memahami pengertian dan memahami model dan
konsep filsafat zaman modern.
Semoga makalah ini dapat bermanfaat dan
menciptakan pemilihihan kepemimpinan yang baik,dan semoga makalah ini
memberikan dorongan, semangat, bahkan pemikiran para pembaca,dengan makalah ini
menjadi pedoman kaidah yang baik.
Demikianlah
penjelasan tentang filsafat zaman modern, bila kiranya ada salah dalam penulisan kata-kata
kami mohon maaf, semoga makalah ini dapat bermanfaat bgi kita semua.
7
Daftar
pustaka
- http://norpud.blogspot.com/2007/10/zaman-modern.html
- elearning.gunadarma.ac.id/docmodul/pengantar_filsafat/Bab_6.pdf
- id.wikipedia.org/wiki/Filsafat_Modern
Tidak ada komentar:
Posting Komentar